Satuan Brimob Kepolisian Negara Republik Indonesia bantai rakyat Cinta
Manis Ogan illir Sumjatera Selatan hingga Angga bin Dharmawan (12)
tewas tertembak saat terjadi bentrok antara
warga dan polisi di Desa Limbang Jaya I dan II, Kecamatan Tanjung Batu,
Kabupaten Ogan Ilir, Jumat (27/7/2012) siang. Empat warga lainnya
terluka terkena tembakan dalam konflik berlatar belakang konflik lahan
PTPN VII Cinta Manis. Korban masih dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara
Palembang.
Praktik kekerasan oleh Satuan Brimob Kepolisian Negara Republik
Indonesia termasuk saat merespons konflik lahan di
PT Perkebunan Nusantara VII Cinta Manis, Ogan Ilir, Sumatera Selatan
seolah olah satuan polisi seperti Brimob miliknya perorangan bukan milik
rakyat Indonesia .
Derby Pinem Ketua LSM Citra Keadilan dalam siaran persnya dari Medan
sangat mengharapkan Polda Sumatera Selatan
melepaskan warga yang ditangkap dan ditahan tanpa prosedur yang jelas
dalam peristiwa Cinta Manis.karena perbutan anggotanya dari Satuan
Brimob
itu telah menghancurkan wibawah Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo
Bambang Yudoyono yang juga Presiden RI .Seolah-olah Presiden tidak
mencintai rakyat petani papa yang ada di Sumatera Selatam ..Sebaiknya
Polisi berhati-hati dalam campur tangan konflik lahan
yang melibatkan petani, seperti dalam Kasus Bima dan Mesuji yang baru
beberapa bulan lalu terjadi.
Penggunaan tindakan kekerasan yang eksesif (excessive use of force)
terhadap penduduk sipil tanpa pemilahan target sasaran jelas
mengindikasikan kemungkinan ada pelanggaran terhadap Prinsip-prinsip
Dasar PBB mengenai penggunaan kekuatan dan senjata api bagi aparat
penegak hukum (diadopsi sejak tahun 1990).Selain itu, sebagian
prinsip-prinsip ini juga terdapat dalam Protap Kapolri No 1/X/2010
tentang Penanggulangan Anarki. Dengan demikian, tindakan tersebut
terindikasi merupakan pelanggaran terhadap Protap Polri tersebut.
Senin, 30 Juli 2012
Sabtu, 28 Juli 2012
Kemiskinan Tapanuli Utara Sebuah Pencitraan atau Kenyataan?
Ada sebuah makalah yang menarik dan kenyataannya mendukung apa yang pernah disampaikan oleh penulis pada judul yang disebutkan sebelumnya.
Sebuah paper Pasca Sarjana setebal 6 halaman yang ditulis oleh Toga P. Sihotang dari Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang dirilis tahun 1997, memang menjadi menyentuh pemikiran dengan pertanyaan; Apakah Kemiskinan di Tapanuli Utara sebagai sebuah Pencitraan atau Kenyataan?
Paper ini mengambil judul ‘Analisa Penyebab Masalah Kemiskinan di Kabupaten Tapanuli Utara’, dengan mengambil sample penelitian di empat desa yaitu dua desa di Kecamatan Sipoholon seperti Desa Tapian Nauli dan Desa Hutaraja Hasundutan, kemudian dua desa di Kecamatan Tarutung yaitu Desa Sihujur dan Desa Sitampurung.
Sepertinya Peta Kemiskinan di Tapanuli Utara itu bukanlah suatu Pencitraan yang selama ini dicurigai sebagai alat untuk melegitimasi Pemerintahan Daerah memohon bantuan atau memohon pengertian dari Pemprov Sumut dalam pengkabulan budget anggaran untuk Kabupaten Tapanuli Utara, khususnya atau pemda-pemda di Tanah Batak pada umumnya. Kenyataannya bahwa pemda-pemda yang masuk dalam Peta Kemiskinan atau sebagai Kabupaten termiskin kebetulan semuanya ada di kawasan yang disebut Tanah Batak seperti; Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Dairi, Karo, termasuk Kabupaten Nias, di lahan-lahan yang didoninasi oleh lahan kering dengan kondisi termarjinalkan.
Melihat pokok pembahasan dalam paper ini sudah mencakup semua aspek penelitian yaitu; Pemetaan faktor sumber daya manusia, potensi wilayah, sarana dan prasarana; Sistim produksi tanaman pangan secara khusus dan sistim pertanian secara umum; Penelaahan persoalan ketahanan pangan; Peranan pranata sosial yang ada; dan mekanisme pemasaran yang tersedia, maka data yang tertera atau kesimpulan penelitiannya cukup mewakili sebutan Peta Kemiskinan.
Menurut kriterianya, berdasarkan Kriteria Sayogyo bahwa lahan minimal yang harus diusahakan untuk mendapat hidup layak adalah 0.51-2,28 Ha. Sementara berdasarkan perhitungan penulis atas lahan tersedia untuk jumlah penduduk yang ditulis di Artikel Ada Apa Di Sipoholon? Bahwa untuk setiap KK hanyalah seluar 0,25 HA, yang dihitung berdasarkan data-data yang dikutip dari Statistik Pemda Tapanuli Utara untuk Kecamatan Sipoholon. Dan kenyataan yang ada dilapangan berdasarkan pengamatan penulis, sangat sedikit yang memiliki lahan sawah seluas 0.25 Ha atau setara dengan 2500 m2 atau bahkan tak ada yang memiliki luas lahan usaha sebidang itu?
Hasil penelitian juga memaparkan bahwa jumlah jiwa per KK adalah sebanyak 6,23 jiwa, sementara perhitungan penulis sebesar 4,65 Jiwa/KK, menunjukkan bahwa antara objek penelitian yang dilakukan di tahun 1996 sampai dengan data perhitungan penulis berdasarkan data tahun 2003, terjadi pengurangan penduduk yang mungkin saja karena tak makan di kemiskinannya, atau pindah karena tak punya prospek lagi di daerahnya itu.
Batas garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS-1992 adalah penghasilan Rp 255.500 per kapita per tahun, sementara penduduk di ke-empat desa penelitian tersebut hanya Rp 174.314 per kapita per tahun. Bila kita berpatokan kepada Standad Bank Dunia Rp 730.000 per kapita per tahun pada masa itu, maka rakyat di Tapanuli Utara ini sudah memang benar-benar miskin. Untuk menyamakan ke batas garis kemiskinan yang di Standardkan oleh Bank Dunia itu maka harus ada upaya sebesar lebih dari 4 x lipat untuk segala bidang. Apakah manusia manusia disini mampu meningkatkan sinerginya 4 x lipat, katakan dalam waktu setahun dimana manusia di daerah lainpun tentu sedang meningkatkan sinergi dirinya untuk lebih maju? Lalu bila kemampuan ini tidak mampu dilakukan, maka bukan hanya ¼ dari batas garis kemiskinan, boleh jadi kemiskinan mereka sudah menjadi hanya sepersepuluh dari batas garis kemiskinan saat ini.
Bila secara radikal kita membandingkan UMR Sumatera Utara untuk tahun 2011 sebesar Rp 1.035.500, tentu saja kehidupan layak seseorang untuk menghidupi dirinya dalam sebulan sekitar nilai tersebut. Lalu bila dibandingkan dengan penghasilan penduduk di empat desa penelitian tersebut dalam setahun, maka akan ada perbandingan sekitar 1: 72 yang artinya boleh kita persepsikan dengan berbagai sudut pandang, misalnya: Kekuatan satu orang di tingkat Sumatera Utara akan setara dengan kekuatan 72 orang di Kecamatan Sipoholon; atau kalau dibandingkan dengan tinju maka satu orang di tingkat Sumatera Utara akan setara dengan melawan 72 orang di kecamatan Sipoholon; atau bila berperang, untuk satu orang Tingkat Sumatera utara yang gugur, maka akan setara dengan 72 orang di Kecamatan Sipoholon. Mungkin pandangan ini disebutkan dengan bahasa hiperbolis, tetapi kenyataan perhitungannya memang demikian.
Objek penelitian yang dipaparkan dalam paper Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang ditulis oleh Toga P Sihotang tersebut, ditujukan untuk gambaran bagi pemegang kebijakan bila memang mau mensetarakan rakyatnya sebagaimana dicitacitakan dalam pembukaan UUD’45 dan pasal 33-3 dan pasal-34, yang memang harus dibantu dan diselesaikan permasalahannya oleh negara .
Bila Negara, dalam hal ini Pemerintahan di Pusat, di Tingkat Provinsi, Di Tingkat Kabupaten, Di Tingkat Kecamatan tidak mampu melihat permasalahan yang ada. Maka wajar saja bila sebagian rakyat di kawasan Nusantara ini meminta agar mereka dihapuskan saja dari catatan di negara ini. Atau apabila ada pemikiran dari rakyat di kawasan itu yang mempertanyakan dirinya berbanding dengan diri orang lain dikawasan lain di Nusantara ini yang sudah mencapai kemakmuran, tentu mereka berpikir untuk kemajuannya, apakah ingin memerdekakan diri, atau menuntut membentuk kecamatan baru, atau kabupaten baru atau propinsi baru, agar mereka mampu mengurusi dirinya sendiri terlepas dari ikatan yang menjerat leher sendiri, karena kenyataannya mereka tidak pernah diurusi.
Jadi, bahasan ini membuktikan bahwa kemiskinan di Tapanuli Utara yang sampai saat ini menjadi daerah termiskin di Sumatera Utara, dengan predikat Peta Kemiskinan, bukanlah sebuah pencitraan yang dibuat-buat oleh pribadi-pribadi yang menjadi tertuduh sebagai bagian dari politisasi kepentingan pribadi, tetapi kemiskinan ini memang menjadi kenyataan sepanjang masa. Tragis kali kau Tapanuli Utara…..
Jembatan Titi Mangga Langkat putus
Jembatan Titi Mangga di kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat Sumatera Utara, dilaporkan putus.
Akibatnya satu truk terguling masuk ke dalam sungai Batang Serangan, selain itu warga tiga desa yang ada disekitarnya juga tidak bisa keluar masuk menuju kota Batang Serangan, kata Kepala Wilayah Kecamatan Batang Serangan, Syaifullah yang dihubungi di Batang Serangan.
“Benar jembatan Titi Mangga putus dan satu truk masuk ke dalam sungai,” katanya, hari ini.
Putusnya jembatan tersebut menyebabkan warga tiga desa terisolasi. Syaifullah berjanji Kamis petang jembatan tersebut dapat dipergunakan kembali, karena sudah ada kesepakatan dengan pihak perkebunan Kwala Sawit Yunus Harahap maupun PUD Langkat, merampung jembatan.
Secara terpisah salah seorang saksi mata warga sekitar Titi Mangga, Amanta Sembiring, menjelaskan bahwa putusnya jembatan tersebut, karena papan yang dipergunakan tidak kuat menahan beban muatan truk.
Kejadiannya sekitar pukul 06.00 pagi tadi, satu truk bermuatan kelapa sawit masuk ke dasar sungai dengan suara seperti dentuman keras.
Supir dan kernet truk bermuatan sawit tersebut berhasil diselamatkan masyarakat, mereka hanya mengalami luka-luka lecet di tangan maupun bahu.
Dikatakan, bahwa papan lantai jembatan ini memang sudah lapuk namun tidak ada perhatian dari pihak perkebunan, padahal truk sawit mereka yang setiap harinya melintas di jembatan itu.
Putusnya jembatan Titi Mangga ini menyebabkan ratusan masyarakat yang bermukim di sekitar jembatan tidak bisa masuk dan keluar, katanya.
Selain itu para turis yang hendak menuju lokasi wisata Tangkahan juga tidak bisa masuk ataupun keluar dari kawasan itu.
“Kalau mereka hendak keluar atau masuk, harus merayap di dinding jembatan ataupun dengan memanjat,” kata Sembiring. Sembiring juga menjelaskan bahwa jembatan Titi Mangga dibangun pada 1982, dan mengalami rusak parah sejak setahun yang lalu.
Sejumlah kayu dan papan yang ada diatas jembatan hancur, sehingga kenderaaan yang melintas kerap terperosok ke dalam lubang jembatan. Bukan hanya itu, kata Sembiring sejumlah warga pejalan kaki dan sepeda motor juga kerap masuk tercebur ke dalam sungai meskipun belum ada korban jiwa. Padahal warga telah berulang kali meminta pemerintah daerah untuk segera memperbaiki jembatan tersebut, katanya.
Istri Anggota TNI AL Ditemukan Tewas di Kebun
Ny Syarofah Marniati (41) ditemukan tewas bersimbah darah di perkebunan kosong milik warga di Dusun Waru, Desa Watuprapat, Nguling, Kabupaten Pasuruan, Jatim, Selasa (27/9/2011).
Ia diduga dibunuh, dan sampai Rabu (28/9/2011) belum terungkap siapa pelaku pembunuhan.
Mayat korban ditemukan petani bernama Muntamar (50), warga setempat yang tengah membenahi pagar tegalan miliknya, sekitar pukul 08.00.
Korban ditemukan tewas dalam posisi tengkurap menghadap ke utara dengan luka sabetan senjata tajam di kepala.
Saat ditemukan, korban mengenakan celana jins warna biru, jaket kain warna ungu, kaus dalam warna biru gelap, serta jilbab hitam.
"Saat itu saya sedang memeriksa kebun, barang kali ada kambing yang menerobos. Ternyata saya menjumpai sesosok mayat wanita tergeletak di tengah kebun. Saya takut dan kemudian melaporkannya ke pengurus RT," ujar Muntamar.
Warga yang mendengar adanya temuan mayat tersebut seketika berbondong-bondong ke lokasi untuk menyaksikan. Pihak kepolisian pun langsung datang untuk melakukan identifikasi begitu ada laporan perangkat desa.
Mereka lalu melakukan olah TKP di dua lokasi kejadian, yakni tempat mayat wanita itu pertama ditemukan, serta lokasi ceceran darah dari jilbab yang dikenakan.
Kepala Sub Bagian Humas Polres Pasuruan, AKP Bambang HS, mengatakan, hasil penyelidikan polisi sementara, korban yang diketahui istri seorang anggota TNI AL berpangkat sertu ini diduga tewas karena dibunuh.
"Kami menemukan sebilah kayu di lokasi, yang diduga digunakan pelaku untuk menghabisi korban. Mengenai motif dari dugaan pembunuhan ini, masih dalam penyelidikan," ujarnya.
Dari data yang diperoleh, Syarofah diketahui istri seorang anggota TNI AL bernama Rusman Mansur.
Pria berpangkat sertu tersebut, merupakan anggota staf operasi Lanal Sorong. Ia warga asli Pasuruan yang kini tinggal di Asrama TNI-AL Klademak III C RT 02/RW 02 Kota Sorong Papua.
Kasat Reskrim Polres Pasuruan, AKP Indra Mardiana S IP menambahkan, dugaan Syarofah dibunuh memang cukup kuat. Sebab, saat ditemukan, kondisi mayat mengenaskan. Bagian dahinya robek, seperti bekas sabetan benda tajam.
Demikian pula di bagian wajah, tampak lebam-lebam seperti baru dipukul benda tumpul.
"Dari kondisi luka-luka dan lebam pada wajah ini, sepertinya korban terkena sabetan benda tajam. Kami juga menemukan batangan kayu yang diduga untuk menganiaya korban," sebutnya.
Seusai olah TKP, polisi langsung mengevakuasi korban ke RSUD dr R Soedarsono, Pasuruan untuk dilakukan visum et repertum. Beberapa jam setelah mayat Syarofah dibawa ke kamar jenazah RSUD dr R Soedarsono, sejumlah personel dari Pomal TNI AL Surabaya datang untuk membantu menangani kasus tersebut.
Komandan Polisi Militer Angkatan Laut (Pomal), Kolonel Laut Toto Hartoto saat dikonfirmasi mengatakan, telah mengetahui kejadian tersebut. "Kami sudah menerima laporan kejadian di Pasuruan tersebut," katanya.
Langganan:
Postingan (Atom)